The Call of the Wild: Anjing juga Anjing!
Sudah lama saya ingin membaca buku ini, The
Call of the Wild. Sebuah novel mahakarya Jack London ber-genre petualangan yang sudah tergolong
dalam sebuah karya klasik karena pertama dipublikasikan pada tahun 1903 silam.
Belakangan saya lebih sering membaca novel ber-genre romance dan
sejenisnya sehingga membuat saya haus petualangan dan saya rasa inilah saat
yang tepat untuk membaca novel ini. Saat pertama membuka novel ini, saya
berharap akan merasakan sensasi yang sama dengan membaca Harimau-Harimau karangan Mochtar Lubis, dan memang itu yang
akhirnya saya rasakan.
Novel ini berkisah tentang sebuah petualangan dan perjuangan hidup seekor
anjing bernama Buck. Buck adalah anjing peranakan antara anjing St. Bernard dan
anjing gembala. Buck memiliki kehidupan yang nyaman, mapan dan serba terpenuhi
semua kebutuhannya oleh pemiliknya yang tidak lain adalah seorang hakim, setidaknya
sampai dirinya diculik oleh seseorang yang kemudian menjualnya kepada orang
lain. Dari sinilah petualangannya dimulai.
Buck kemudian dijual dari tangan ke tangan untuk dijadikan sebagai anjing
penarik kereta luncur salju di daerah Yukon yang kala itu sedang ramai oleh
para pencari debu kuning, emas. Jack London sendiri pernah menjadi seorang pencari
emas di alam liar Kanada sehingga tidak heran jika dirinya dapat bercerita
dengan detail mengenai suasana Alaska kala itu, di tengah menggilanya pencarian
emas oleh orang-orang dari berbagai daerah di Amerika. Salju yang tebal, udara
dingin, dan kapal-kapal pengangkut yang berdatangan, dan para pencari emas
digambarkan dengan jelas olehnya.
Pencarian Jati Diri dan Perjuangan Hidup Tanpa
Ampun!
Dapat dibayangkan bagaimana seekor anjing peliharaan yang selama hidupnya
hidup dengan nyaman di daerah selatan, California yang hangat kemudian tiba-tiba
saja dibawa ke daerah utara yang dingin, Yukon, di mana angin bertiup menusuk
tulang dan salju bertumpuk-tumpuk. Namun, inilah yang membuat kisah ini
menarik.
Dalam hal ini, saya rasa Jack London berkaca pada pengalamannya sendiri
dalam berjuang di tengah ganasnya alam
liar Kanada saat dirinya menjadi seorang pencari emas. Perjuangan si penulis
itu sendirilah yang kemudian ditransfer dalam tokoh Buck. Entah ini hanya
pendapat saya pribadi atau memang si penulis memiliki ketertarikan pribadi yang
sangat intim pada anjing dan serigala (mengingat penulis juga menulis novel
antitesis The Call of the Wild, yaitu
White Fang).
Pencarian jati diri Buck dimulai dengan suatu pelajaran yang sangat
berharga baginya. Seperti tujuan awal Buck dibawa ke daerah utara, yakni
menjadi anjing penarik kereta luncur, pertama-tama Buck harus dilatih terlebih
dahulu untuk mematuhi perintah manusia. Ini
hal pertama yang saya suka di awal cerita, yaitu saat Pria ber-sweater merah menghadapi Buck satu lawan
satu dan mematahkan setiap serangan Buck dengan tongkat pemukulnya.
Berkali-kali Buck mencoba menyerang namun tidak berhasil sehingga ia harus
menyerah dan dari situlah anjing besar itu mulai menuruti perintah manusia. Dan
saat itulah dia paham aturan yang harus dipatuhinya agar dirinya dapat bertahan
hidup, hukum pemukul dan taring.
Cerita berlanjut pada bagian di mana Buck mulai dipekerjakan sebagai anjing
penarik kereta luncur dengan pemilik pertamanya, Francois dan Perrault. Di
sini, Buck dipertemukan dengan anjing-anjing lain yang satu kawanan dengannya.
Buck mempelajari watak dan perangai kawanannya karena dirinya tahu bahwa
dirinya tidak bisa sembarangan berinteraksi dengan anjing-anjing yang baginya
masih asing. Selain itu, perlahan-lahan, Buck juga beradaptasi dengan iklim
yang sama sekali baru baginya. Buck harus mempelajari hampir semua hal dasar
kehidupan dari awal, mulai dari cara tidur, berebut makanan, berinteraksi, dan
tentunya, cara menarik kereta luncur bersama kawanannya.
Tampaknya Jack London tidak puas hanya dengan membuat Buck beradaptasi
penuh dengan salju dan es. Pada titik inilah Jack London mulai membangunkan
insting liar Buck, insting untuk mendominasi dan menjadi yang terkuat dalam
kawanannya. Perlahan tapi pasti, penulis membangunkannya sedikit demi sedikit hingga
di suatu titik Buck menantang Spitz, sang anjing pemimpin kawanan yang buas dan
ganas untuk bertarung memperebutkan kekuasaan sebagai pemimpin yang berujung
pada matinya Spitz dan posisi pemimpin kawanan jatuh pada Buck.
Dalam alur cerita berikutnya, Buck berhasil memimpin kawanan dan menjadi
yang dominan di antara anjing-anjing lainnya berkat insting alami yang
terbangun secara perlahan. Inilah yang saya suka dari cara Jack London
membangunkan insting alami yang terkubur selama jutaan tahun dalam diri seekor
anjing, yakni insting dan perangainya sebagai seekor hewan buas hingga akhirnya
Buck menjadi benar-benar buas, bahkan lebih buas daripada serigala. Proses
kebangkitan insting purba yang perlahan namun pasti, lewat suara-suara yang
didengar Buck dari alam bawah sadarnya, suara lolongan yang selalu memanggilnya
untuk memasuki hutan dan menuntunnya jauh ke dalam alam liar. Sebuah panggilan,
panggilan alam liar.
Penggambaran insting nenek moyang yang purba tersebut dipertebal dengan
halusinasi Buck tentang seorang manusia yang selalu mengikuti kemana pun
dirinya pergi. Seorang manusia yang tidak seperti manusia modern, yang selalu
tidur berjongkok dengan dua tangan menangkup di atas kepalanya, seakan
melindungi kepalanya dari hujan. Jelas sekali di sini Jack London menggambarkan
sosok manusia purba yang semakin memperkuat kebangkitan insting purba Buck.
Kasih sayang dan kesetiaan
Novel petualangan yang penuh unsur maskulinitas bukan berarti harus
demikian belaka. Untuk menambah kesan emosioinal pembaca, Jack London juga
membubuhkan unsur-unsur lain, seperti kasih sayang dan kesetiaan yang mewarnai
sepanjang perjalanan hidup Buck sebagai anjing penarik kereta luncur.
Dalam perjalanan hidupnya sebagai anjing penarik kereta luncur, Buck dan
kawanannya berpindah tangan dari satu pemilik ke pemilik lainnya, begitu
seterusnya hingga dirinya harus terbiasa dengan perpisahan dengan pemilik
lamanya. Seperti perpisahannya dengan Francois dan Perrault yang mengharukan
dan kesetiannya menjaga pemilik terakhirnya, John Thornton yang sangat heroik
dan tragis.
Tidak hanya lewat Buck dan para pemilik-pemiliknya Jack London bisa membuat
pembacanya merasa emosional. Satu bagian yang saya paling sukai dalam cerita
ini dan yang paling membuat saya emosional adalah saat salah satu anjing dari
kawanan, yaitu Dave dalam kondisinya yang sangat lemah berjuang untuk tetap
melaksanakan tugasnya menarik kereta luncur bersama kawan-kawannya. Agar tidak
penasaran, biar saya sertakan kutipannya.
“Kedua matanya memancarkan permohonan agar dia tetap dibiarkan
di sana. Sang kusir kebingungan. Teman-temannya memberi tahu betapa seekor
anjing bisa hancur hatinya saat disingkirkan dari pekerjaan yang bakal
membunuhnya, dan menceritakan kembali contoh-contoh kejadian yang mereka
ketahui, saat anjing-anjing yang terlampau tua untuk bekerja keras atau
mengalami cedera akhirnya mati karena talli kekang mereka dilepaskan.”
Meskipun tidak sampai menangis saat membacanya, namun bagian inilah yang
paling melekat dalam ingatan saya dan membuat saya cukup emosional. Pada titik
inilah, Jack London menggambarkan kesetiaan seekor anjing kepada tugasnya,
bukan sekadar kepada pemiliknya.
Cocok untuk Pembaca dari Berbagai Usia
Tidak semua novel klasik itu berat dan butuh penalaran kritis dalam
memahami makna dari ceritanya. Novel ini buktinya. Kisah petualangan Buck ini
sangat menarik untuk dibaca pembaca dari berbagai usia, tua muda, laki
perempuan, dan anak-anak pun cocok untuk membaca dan rasanya cukup mudah untuk
mengambil pesan moral dari ceritanya. Alur cerita yang menghubungkan
fragmen-fragmen cerita mengalir begitu saja, membuatnya menarik meskipun minim plot twist.
Di samping perjalanan pencarian jati diri Buck, penggambaran Jack London
tentang latar cerita juga sangat hidup. Tumpukan salju, sungai yang membeku,
hutan, dan perkemahan dengan lidah api yang menjilat-jilat mengusir kegelapan,
lolongan serigala, terlihat begitu nyata dan hidup dalam imajinasi saya.
Hingga saat ini, kesan mendalam usai membaca novel ini masih melekat dalam
otak saya. Percaya atau tidak, sampai-sampai saya jadi ingin punya anjing
seperti Buck. Inilah kisah petualangan yang tidak sekadar petualangan, tapi
juga tentang perjuangan, kasih sayang, dan kesetiaan. Kisah yang membuktikan
pada manusia bahwa biarpun hanya seekor anjing, anjing juga anjing.
Comments
Post a Comment