Salju Kilimanjaro (Ernest Hemingway)
Jujur saja, saya bukan orang yang cukup cerdas untuk berpikir cepat untuk
memahami hal-hal yang tersirat dalam suatu cerita. Atau bisa jadi pikiran saya
terlalu realistis sehingga susah untuk berpikir abstrak. Akibatnya, saya
membaca cerpen ini beberapa kali hingga saya bisa “sedikit” mengerti apa inti
ceritanya.
Gunung Kilimanjaro dan puncaknya yang selalu tertutup salju (Sumber: Pinterest). |
“Kilimanjaro adalah gunung
bersalju yang terletak pada ketinggian 6.008 meter dari permukaan laut dan
dijuluki gunung tertinggi di benua Afrika. Puncaknya di sebelah barat dinamakan
“Ngaje Ngai”, dalam bahasa Masai berarti “Rumah Tuhan”. Di dekat puncak itu
tergolek bangkai seekor macak tutul yang kering dan membeku. Tak seorang pun
dapat menjelaskan apa yang dicari sang macan tutul di ketinggian seperti itu.”
Begitulah Hemingway membuka cerpennya. Cerpen ini mengisahkan seorang
laki-laki bernama Harry yang terjebak di tengah padang rumput Afrika dengan
kaki yang membusuk akibat infeksi usai
tertusuk duri dan dia lupa memberi iodium sebagai antiseptik dan justru
menggunakan larutan karbol encer yang malah membuat pembuluh darah di daerah
luka itu rusak dan lukanya membusuk dari hari ke hari.
Harry tidak sendirian, dia terjebak bersama dengan istrinya yang cantik dan
kaya, Helen, yang sangat mencintai Harry. Selain itu, dia juga terjebak bersama
dengan kru berburu yang dibawanya setelah truk yang membawa mereka rusak
sehingga perjalanan tidak mungkin dilakukan.
Kisah ini sebenarnya sederhana, yaitu seorang laki-laki yang menunggu
kematiannya di padang rumput Afrika. Entah bagaimana, Harry tahu bahwa dirinya
akan berakhir di padang rumput itu. Dirinya tahu bahwa jiwanya membusuk sedikit
demi sedikit seiring dengan lukanya yang kian memburuk sehingga dia tidak
merasakan apa-apa lagi setelahnya.
Harry mengisi harinya dengan minum minuman keras dan bercekcok dengan
istrinya. Istrinya terus meyakinkan suaminya bahwa akan datang pesawat
penjemput yang akan membawa mereka keluar dari padang rumput itu dan mereka
akan selamat. Namun, pada kenyataannya pesawat itu tak kunjung datang dan Harry
tahu pesawat sialan itu tidak akan datang.
Di masa-masa penantiannya akan maut, Harry berkutat dengan pikirannya,
perjalanan kehidupannya dari waktu ke waktu yang sebenarnya hendak
dituliskannya menjadi sebuah cerita. Namun, hingga kini, hingga maut akan
menjemputnya, dia tidak menulis satu kata pun tentang perjalanan hidupnya. Memang,
patut diakui bahwa perjalanan hidupnya cukup mengesankan. Dia telah menjelajahi
berbagai tempat dan mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Paris, Karagatch, dan
Konstantinopel, termasuk masa-masa perang yang pernah dialaminya.
Dalam memori yang berputar-putar itu, Harry frustasi dan menyesal kenapa
dia tidak menulis satu kalimat pun dan malah menukar kehidupannya demi rasa
aman dan hidup senang bersama dengan istrinya yang kaya raya. Mungkin dari
sinilah pangkal percekcokan mereka selama mereka terjebak di padang rumput.
Harry berpikir bahwa perempuan itulah yang telah menumpulkan kemampuan
menulisnya.
Suatu hari, Harry merasa maut semakin dekat dengannya. Helen meyakinkan
Harry untuk tidak percaya pada maut yang
berwujud sabit dan tengkorak. Namun Harry bersikeras bahwa maut bisa saja
datang padanya dalam berbagai bentuk, dua orang polisi, burung, atau Hyena.
Dadanya semakin berat dan dia yakin malam itu adalah malam terakhirnya melihat
dunia.
Pesawat itu kemudian datang, dipiloti oleh temannya, Compton. Mereka
menggotong Harry ke dalam pesawat dan membawanya terbang keluar padang rumput
Afrika. Dari atas, Harry melihat gunung tertinggi di Afrika itu, Kilimanjaro.
Dia melihat puncaknya yang berbentuk persegi dan dia tahu, di situlah dia akan
menuju. Begitulah mimpinya saat itu.
Malam itu, istrinya mendengar lolongan Hyena yang tidak seperti biasanya
dan terdengar lebih mengerikan. Dia meninggalkan tenda dan menjerit usai
mendapati Harry dengan satu kakinya tergantung dengan perban yang sudah
terlepas. Dia sudah mati malam itu.
Cerita berakhir di situ dan seperti puisi, cerpen bisa saja mengandung
banyak interpretasi, dan itulah yang menjadikannya menarik, menemukan
pesan-pesan tersirat di dalamnya. Dalam cerpen ini, menurut saya, judul dari
cerpen itu sendiri adalah simbol yang digunakan Hemingway untuk kematian Harry.
Di awal cerpen, Hemingway membuka cerpennya dengan sedikit uraian tentang
puncak Kilimanjaro yang disebut “Ngaje
Ngai”, yang dalam bahasa Masai berarti “Rumah Tuhan”. Dalam alam bawah
sadarnya, Harry bersama pesawat yang dipiloti Compton menuju puncak Kilimanjaro
dan setelah itu cerita berakhir dengan kematian Harry. Sederhananya, di titik
inilah Harry benar-benar dijemput oleh maut, jiwanya terbang menuju rumah
tuhan. Ya, setidaknya begitulah menurut saya.
Membaca cerpen-cerpen Hemingway memang menarik. Meski kadang susah
dipahami, tapi justru di situlah daya tariknya. Pembaca diajak melihat
pesan-pesan tersirat yang ada di dalam cerita. Saya sendiri, memang tidak bisa
memahami setiap cerpennya, namun setidaknya di sini saya bisa berimajinasi dan
mengajak otak saya untuk berpikir tentang makna dari cerita itu.
Comments
Post a Comment