Greget itu Jalan Kaki Monas-Senen


Jakarta, Jekardah atau apalah terserah apa kata orang. Jujur saat masih kanak-kanak saya sangat ingin berkunjung dan jalan-jalan di kota metropolitan itu. Keinginan itu baru keturutan beberapa bulan yang lalu saat saya harus mengikuti sebuah tes di sana. Berangkat dengan perasaan semangat bercampur grogi akhirnya saya pun menginjakkan kaki di Ibu Kota Negara.
Ada sepatah cerita konyol saat saya jalan-jalan di Jakarta. Maklum, orang kampung berkunjung ke Ibu Kota, sendirian pula saya saat itu. Hari itu adalah hari terakhir saya di Jakarta setelah mengikuti rangkaian tes tahap pertama. Sore hari saya harus kembali ke Malang untuk kembali bekerja. Namanya juga orang kampung, saya ingin melihat tugu Monas dari dekat. Buat bukti kalau saya sudah pernah ke Jakarta. Haha.
Berangkat dari rumah mbah saya di daerah Kemayoran, saya pede saja setelah mendapat petuah dari si mbah. “Nanti kamu naik metromini 15 dari Pasar Senen, turun di depan gedung DKI, di seberang jalan uda Monas,” titahnya. Pagi itupun saya menembus kemacetan Ibu Kota dengan kendaraan favorit saya di Jakarta yang disebut metromini.
Nah sampailah saya di depan gedung Daerah Khusus Ibu Kota (DKI). Jaraknya cukup jauh dari Pasar Senen, tempat yang paling saya hafal kalau akan pulang ke rumah mbah. Sekitar 3,2 km an. Saat itu jam menunjuk angka 11.00 saat saya tiba di depan gedung DKI. Benar kta si mbah, tugu Monas tepat di depan gedung DKI dan saya dapat melihat emas yang berbentuk seperti es krim di puncaknya.

Tugu Monas dan langit yang mendung, Jakarta 14 Oktober 2014.


Cuaca mendung dengan sedikit gerimis tidak membuat hawa panas Ibu Kota hilang. Gila, gerah sekali siang itu rasanya. Selangkah demi selangkah akhirnya saya cukup dekat dengan tugu Monas dan mengabadikan gambar tugu itu di kamera saya. Pagi itu cukup sepi karena memang bukan hari libur.
Setelah cukup puas, saya harus segera pulang karena kereta akan berangkat sore itu. Bisa-bisa saya terlambat kalau terjebak macet di jalan. Berjalanlah saya ke tepian jalan raya mencari tempat untuk menunggu metromini jurusan Pasar Senen lewat. Karena jalannya searah, saya nggak bisa kembali ke tempat saya turun. Memang akan putar balik ke Pasar Senen, tapi saya rasa itu akan makan waktu banyak.
Malu bertanya sesat di jalan, itulah yang saya ingat di kepala saya saat berada di tengah keramaian Ibu Kota. Saya bertanya kepada orang yang lewat, di mana tempat saya bisa menunggu metromini jurusan Pasar Senen. “Di sana bang, abang tunggu di sana saja,” jawabnya sambil menunjuk lampu lalu lintas yang tidak jauh dari tempat saya berdiri. Berjalanlah saya kesana, menyusuri trotoar jalan merdeka utara. Sampai di tempat yang ditunjuk orang tadi, saya tidak melihat satu metromini pun yang lewat. Saya tunggu sebentar dan masih belum juga ada yang lewat. Saya bertanya lagi pada satpam sebuah perkantoran. “Di sana bang, deket lampu lalu lintas”, kata satpam itu. Jalan lah lagi saya mengikuti pentunjuk satpam itu, dan meski sudah menunggu sekitar 10 menit saya belum melihat metromini 15 lewat. Sial benar saya siang itu.
Nggak mau menyia-nyiakan waktu untuk menunggu, saya lanjutkan jalan kaki menyusuri trotoar. Saya bertanya lagi pada satpam sebuah hotel. “Pak kalo mau ke senen dari sini naik metromini bisa nggak?”, tanya dengan bodohnya. Habis dari tadi di sana, di sana terus, metromini yang saya maksud nggak lewat-lewat. Satpam itu pun menjawab, “Wah kalau dari sini susah bang, abang mending naik bajai aja deh”, jawabnya. Bajai? Saya langsung ingat kata mbah, ongkos bajai nggak seperti metromini yang cuma Rp 3500 (saat itu) sekali jalan, lebih mahal, bisa sampai tiga puluh ribu atau lebih. Saya pun memilih untuk berjalan lagi mencari tempat metromini jurusan Pasar Senen lewat.
Nggak terasa cukup jauh sudah saya berjalan. Panas dan polusi Ibu Kota membuat saya ngos-ngosan dan sadar betapa bodohnya saya. Saat itu saya bertemu dengan tukang tambal ban. “Bang metromini ke jurusan Senen di mana ya lewatnya?”, tanya saya. Tukang tambal ban itu nampaknya cukup sibuk sehingga tidak sempat menghadap ke arah saya saat menjawab. “Yah mending jalan kaki kalo ke Senen, tu Senen uda di depan sono,” jawabnya. What????!! Senen sudah di depan sono? Jawaban yang benar-benar membuat saya shock saat itu. Benar saja, tidak jauh dari situ sudah nampak Pasar Senen dan terminalnya yang jadi tujuan saya siang itu.
Ternyata saya sudah berjalan sekitar 3,2 km dari Monas ke Senen. Memang tidak terlalu jauh atau jauh sekali, tapi benar-benar greget dan nggregetno. Dari tadi mencari tempat metromini lewat hingga akhirnya sampai ke Senen dengan jalan kaki itu rasanya sangat bodoh. Gila, betapa konyolnya. Yah apa boleh buat, rasanya saya ingin menrtawakan diri saya sendiri saat itu. Hahaha. Sampailah saya di terminal Pasar Senen dan beruntung saya tidak terlambat kembali ke rumah mbah dan wuzzzz kembali ke Malang.*

Comments

Popular Posts