Andai Aku Menjadi (Penyadap Karet)



Suara gemerisik daun yang tersapu angin, suara aliran air sungai yang tak terlalu kencang, semua terdengar sangat merdu di telinga. Begitulah suasana di depan kamar mess saya saat itu. Saya sebenarnya sudah sadar bahwa waktu itu (28 November 2013) hari masih terlalu pagi. Udara dingin rasanya menahan mata ini untuk terbuka dan bersiap untuk bertugas. Belum genap sebulan memang saya bekerja sebagai staf tanaman saat itu di sebuah perkebunan. Okay, meski ngantuk yo wis, ayo budal kerjo (meski rodo mekso :D).
Tugas saya kali ini adalah training menyadap. Permasalahan seputar penyadapan memang sedang menjadi tren publik beberapa pekan terakhir ini, begitu pula dengan saya. Nah, bedanya, penyadapan yang menjadi topik saya dan teman-teman baru saya sesama staf tanaman yaitu penyadapan pohon karet. Tolong jangan tertawakan saya jika saya adalah alumnus Biologi yang tidak tahu seperti apa itu pohon karet (Hevea brasiliensis) yang sudah bolak-balik dibicarakan pada matakuliah botani ekonomi saat saya masih duduk di semester 5 bangku kuliah. Baru kali ini saya akan melihat secara langsung seperti apa pohon karet itu. Sungguh terlalu.
Penyadapan karet, mungkin hal yang familiar, namun juga asing bagi saya. Mungkin lebih tepatnya, familiar di telinga saya, namun asing di mata saya. Artinya? Artinya saya tidak pernah melihat proses penyadapan pohon karet. Nah, kebetulan kali ini saya dan beberapa rekan lainnya mendapat tugas untuk training menyadap pohon karet.
Bagai bertemu hal asing, wajar saja kalau kita akan kaget di awal. Begitu pula dengan saya saat pertama mendengar prosedur kerja tentang penyadapan pohon karet. Gendeng, penyadapan pohon karet yang baik ternyata dilakukan di pagi buta. “Wayae wong turu, kene nyadap?”, itu yang ada di pikiran saya saat itu. Alhasil, di hari yang masih terlalu pagi itu kami berangkat menuju ke lahan penyadapan.
 “Srak, srak, srak”, bunyi kasar kulit kayu pohon karet yang teriris oleh pisau sadap para penyadap mungkin adalah satu-satunya teman selain cahaya lampu senter saat penyadapan berlangsung. Gendengnya lagi, lahan yang dipercayakan pada tiap-tiap penyadap cukup luas. Jadi apa artinya? Artinya mereka akan terpisah cukup jauh antar penyadap. Artinya lagi mereka harus menyadap sendirian di lahan mereka masing-masing. Seperti yang saya bilang di awal, mereka hanya ditemani suara gesekan pisau dan cahaya lampu senter mereka. Sudah mending pakai senter, di jaman seperti ini, masih ada juga penyadap yang memakai obor untuk menemani mereka menyadap. Beginilah rutinitas warga di desa ini, desa Ranulogong, Lumajang, bangun di pagi buta demi mengais rupiah untuk menyokong kehidupan sehari-hari mereka.

 Baru menyelesaikan sepuluh pohon, saya sudah misuh-misuh, rasanya tangan ini sudah kaku. “Gendeng rek, nyadap tibak e angel”, batin saya saat itu. Padahal itu masih bukan apa-apa dibanding para penyadap yang sesungguhnya. Tentunya para penyadap bukan anak kemarin sore seperti saya yang sudah misuh-misuh dengan sepuluh pohon, para penyadap karet di sini sudah bekerja bertahun-tahun, bahkan ada juga yang sudah puluhan tahun menjadi penyadap, berteman dengan pohon karet milik perkebunan. 

Seperti inilah wajah penyadap karet, kebanyakan sudah berumur.
Mereka sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai penyadap karet.
 Tak terasa sudah lebih dari tiga hari saya bersama rekan-rekan lainnya training menyadap. Semakin hari, semakin banyak saya melihat warna-warni kehidupan para penyadap pohon karet, mulai dari mereka yang sudah tua, hingga tua sekali. Bergelut dengan pohon karet selama puluhan tahun terdengar sederhana, tapi bagi saya pribadi, itu hal yang sangat berat. Yah, kalau boleh saya berpendapat, mungkin mereka tidak punya pilihan lain. Sebenarnya dengan bekerja sebagai penyadap pohon karet, mereka dapat melakukan pekerjaan lainnya di pagi hari setelah menimbang hasil latex yang mereka peroleh.

Berat? Sepertinya bukan masalah. Semakin banyak latex yang mereka peroleh, semakin banyak pula upah mereka.
 Seorang laki-laki tua yang paling saya ingat namanya, yaitu Pak Sidin mungkin adalah salah satu contoh yang menunjukkan kepada saya betapa kerasnya perjuangan untuk bertahan hidup. Saya terdiam sejenak melihat orang tua yang sudah mulai bungkuk mengayuh sepedanya yang tak kalah tua itu masih bekerja sebagai penyadap. Memegang setir sepeda pun tangannya sudah gemetaran, mungkin terlalu biasa untuk ia rasakan tangannya gemetaran. Begitu begitu ia masih sanggup menjadi seorang penyadap kelas kakap. Menyadap pohon karet di anca (sebutan lain dari lahan porsi masing-masing orang) yang dipercayakan padanya, hingga membawa hasil latex yang terkumpul ke tempat penimbangan adalah hal biasa baginya. Mungkin bagi saya terdengar susah, karena walaupun jarak lahan dengan tempat penimbangan tidak terlalu jauh, dengan beban ember berisi latex yang beratnya dapat mencapai belasan atau 20-an kg, jarak yang tak terlalu jauh itu akan terasa sangat jauh. Saya mungkin baru kemarin sore bekerja di perkebunan ini, datang dan menginjakkan kaki di beberapa desa sekitar, tapi tak butuh waktu lama untuk melihat betapa kerasnya usaha warga di sini untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semua yang hidup, harus bertahan hidup. Itu kenyataan yang tidak dapat kita ingkari.
Saya gak mau berbicara sok sosiolog, dan semacamnya-lah, apalagi filsuf. Dalam tulisan kali ini saya hanya ingin bercerita seputar usaha manusia untuk bertahan hidup. Life is survival, mungkin itu yang dapat saya simpulkan. Bukan hal baru, melainkan hal yang sudah diketahui oleh semua orang. Hidup ini memang keras, dan hidup miskin tentunya bukan keinginan setiap manusia, tapi coba kita merenung sedikit. Apa sesungguhnya yang membuat seorang manusia bahagia? Selamat merenung :D


Comments

Popular Posts